Jumat, 07 Juni 2013

EKONOMI: PENGANTAR SISTEM EKONOMI


Bab. Pengantar Sistem Ekonomi
(Kemunduran Pemikiran Umat)

Syekh Taqiyuddi An Nabhani

PEI-Online : 31/12/2003

                Pemikiran, bagi bangsa manapun, adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam keidupa mereka, apabila mereka adalah sebuah bangsa yang baru lahir. Bahkan, ia merupakan peninggalan ang sedemikian berharga yang akan diwarisi oleh generasi penerusnya, apabila bangsa itu telah menjadi sebuah bangsa yang  maju dalam bidang pemikirannya.
                Sedangkan kekayaan yang bersifat materi, penemuan-penemuan ilmiah, industrialisasi serta hal-hal yang lainnya, masih jauh kedudukannya disbanding dengan pemikiran tersebut. Bahkan, semuanya bisa diraih melalui pemikiran, dan semata-mata bisa dilestarikan hanya oleh pemikiran.
                Oleh karena itu, apabila kekayaan ssebuah bangsa yang bersifat materi hancur, maka dengan segera akan bisa dipulihkan kembali, selama bangsa itu melestarikan kekayaan berfikir mereka. Nammun apabila kekayaan berfikir mereka telah terabaikan, dan sebaliknya, mereka malah meletarikan kekayaan materi merka, maka kekayaan itupun akan segera sirna dan mereka akan kembali menjadi miskin. Seperti halnya kebanyakan penemuan-penemuan ilmiah yang telah ditemukan oleh bangsa tersebut telah meninggalkan penemuan-penemuan itu, dengan tidak meninggalkan metode berpikirnya. Bahkan, sebaliknya, apabila mereka telah meninggalkan metode berfikir mereka yang inovatif tersebut, maka pasti mereka akan segera terbelakang lagi. Sehingga penemuan-penemuan yang mereka miliki itu akan musnah. Karena itulah, maka yang harus dijaga pertama kalinya adalah pemikiran. Sehingga dengan dasar pemikiran ini, beserta metode berfikirnya yang inovatif itu, mereka akan bisa meraih sukses materi serta berhasilmenemukan penemuan-penemuan ilmiah dan industrialisasi (yang sedemikian maju) maupun hal-hal yang serupa lainnya.
                Sedangkan yang dimaksud dengan pemikiran di sini adalah adanya aktivitas berfikir pada diri umat atau bangsa tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi. Dimana mereka masing-masing secara keseluruhan senantiasa mempergunakan informasi-informasi yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta ataupun fenomena untuk memutuskan fakta atau fenomena tersebut. Dengan kata lain, mereka senantiasa harus memiliki pemikiran yang bisa mereka pergunakan dalam menatap hidup mereka. Sehingga, karena sedemikian seringnya mereka mempergunakannya, maka akan muncul kegemilangan metode berpikir mereka yang inovatif itu pada diri mereka.
                Umat Islam saat ini bisa dianggap sebagai umat yang telah kehilangan pemikirannya, sehingga pasti mereka telah kehilangan metode berpikirnya yang inovatif. Oleh karena itu, generasi yang akan datang tidak akan mewarisi pemikiran Islam, maupun pemikiran-pemikiran non Islam apapun dari pendahulu mereka. Sehingga dengan begitu mereka juga tidak akan mewarisi satu metode berfikir yang inovatif pun. Bahkan, mereka juga tidak akan memiliki pemikiran dan metode berfikir yang inovatif sama sekali. Karena itu, secara pasti umat ini Nampak telah menderita kemiskinan, sekalipun kekayaan materi di Negara mereka sangat berlimpah. Mereka juga nampak telah kehilangan kreatifitasnya, sehingga tidak bisa menemukan penemuan-penemuan ilmiah, maupun melakukan industrialisasi, meskipun secara teoritis mempelajari, mendengarkan dan menyaksikan penemuan-penemuan tersebut. Mengapa, karena mereka tidak akan terdorong untuk melakukannya, kecuali apabila mereka memiliki pemikiran yang produktif yang mereka pergunakan dalam kehidupan.
                Oleh karena itu, kaum muslimin harus membangun pemikiran dan metode berfikir yang inovatif itu dalam diri mereka. Kemudian dengan landasan pemikiran itu, mereka bisa meraih kekayaan yang bersifat materi. Mereka juga akan bisa menemukan realitas-realitas ilmiah. Setelah itu baru kemudian mereka bisa melakukan industrialisasi. Selama mereka tidak melakukannya, niscaya mereka tetap tidak akan mungkin melangkah maju setapak saja. Bahkan, mereka tetap akan berkutat dalam kubang pengangguran. Dimana peran mereka tetap tidak ada, malah kapasitas berfikir dan tenaga mereka tetap tersimpan dan baru akan berakhir kalau mereka mau memulainya.
                Generasi kaum muslimin itu tidak lagi memiliki pemikiran-pemikiran yang bisa dipergunakan untuk melakukan counter pemikiran yang ingin dijejalkan pada dirinya, sehingga generasi itu mampu menyadari (kekeliruan) pemikiran yang akan dijejalkan kepadanya. Karena dengan begitu, akan terjadi pertarungan antara dua pemikiran, dimana setelah terjadinya pertarungan itu, dia mampu menemukan pemikiran yang benar. Kenyataannya tidaklah demikian, justru generasi ini telah kehilangan semua pemikiran beserta seluruh metode berfikirnya yang inovatif itu. Dimana generasi ini telah mewarisi pemikiran-pemikiran Islam sebagai sebuah falsafah (pandangan) yang bersifat utopis secara total, sebagaimana bangsa Yunani yang --pada saat ini—telah mewarisi filsafat Aristoteles dan Plato. Generasi ini juga telah mewarisi Islam sebagai sebuah upacara dan symbol-simbol keagamaan, seperti halnya orang-orang Nasrani yang telah mewarisi agama Nasraninya. Sementara pada saat yang sama,  generasi ini telah terpesona dengan pemikiran Kapitalis, karena melihat keberhasilannya, bukan karena memahami betul realitas pemikirannya. Juga karena generasi ini telah tunduk pada penerapan hukum-hukumnya pada diri mereka, bukan karena sadar bahwa pemecahan-pemecahan itu sebenarnya muncul dari pandangan hidup Kapitalis.
                Oleh karena itu, mereka sendiri tetap jauh dari pemikiran-pemikiran Kapitalis dari segi proses berfikirnya, sekalipun mereka menatap kehidupan mereka dengan metode-metodenya. Begitu pula, mereka juga jauh dari pemikiran-pemikiran Islam dari segi praktiknya, sekalipun mereka beragama Islam dan mengkaji pemikiran-pemikirannya.
                Kegandrungan mereka terhadap pemikiran-pemikiran terseut telah melampaui batas, hingga sampai pada usaha untuk mengkompromikan antara Islam dengan hukum-hukum dan solusi-solusi Kapitalis. Bahkan, mereka sampai pada perasaan inferior (rendah diri) terhadap kemampuan Islam untuk melahirkan solusi-solusi bagi problem kehidupan yang senantiasa silih berganti. Yang kemudian melahirkan perasaan butuh pada hukum-hukum dan solusi-solusi yang Kapitalistik, sebagaimana apa adanya. Bahkan, tanpa membutuhkan upaya-upaya kmpromi lagi, sehingga tidak merasa riskan untuk meninggalkan hukum-hukum Islam dan mengdopsi hukum-hukum non Islam. Tujuannya adalah agar bisa meraih kemajuan hidup dalam percaturan kehidupan, sejajar dengan dunia yang berperadaban tinggi. Juga agar bisa menyusul kelompok bangsa-bangsa Kapitalis atau bangsa-bangsa yang menerapkan Sosialisme sehingga bisa merambah jalan bangsa-bangsa Komunis. Dengan menganggap, baik Kapitalis maupun Sosialis itu, sebagai bangsa-bangsa yang maju.
                Sedangkan sisa-sisa yang paling tersisa dari kalangan mereka yang masih memegang Islam itu, ada yang masih memiliki kegandrungan terhadap pemikiran-pemikiran Kapitalis. Akan tetapi, mereka masih mempunyai obsesi tentang kemungkinan untuk mengkompromikan antara Islam dengan ideology non Islam itu tidak memiliki pengaruh sama sekali dalam kehidupannya, termasuk dalam percaturan masyarakat, yaitu dalam interaksi yang secara riil berkutat di tengah-tengah kehidupan manusia.
                Oleh karena itu, memberikan pemikiran-pemikian Islam dan hukum-hukum Syara’ untuk menjadi solusi kehidupan itu jelas akan mengalami pertarungan dengan logika-logika yang pemikiran dan metode berfikirnya bersifat utopis. Termasuk akan mengalami pertarungan dengan kegandrungan semua pihak terhadap pemikiran-pemikiran Kapitalis atau Sosialis tersebut, seperti ketika terjadinya pertarungan dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu kehidupan yang dikendalikan oleh mekanisme system Kapitalis.
                Dan selama pemikiran itu tidak kokoh hingga betul-betul menancap kuat dalam benak dan akal mereka, maka tidak mungkin orang-orang akan bisa menggoncangnya, bahkan rasanya sulit memalingkan perhatiannya. Karena dengan pemikiran ini, ia akan mampu membawa logika-logika yang lemah plus dangkal itu ke dalam proses berpikir yang mendalam. Ia juga mampu menggoncang kegandrungan-kegandrungan yang menyimpang serta perasaan yang sakit itu hingga lahir kegandrungan yang benar, yaitu pada pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam.
                Karena itulah, maka seorang pengemban dakwah Islam harus senantiasa memaparkan asas-asas yang menjadi dasar pijakan hukum-hukum dan solusi-solusi Kapitalis tersebut. Dimana ia harus menjelaskan penyimpangan-penyimpangannya, kemudian menghancurkannya. Ia juga harus senantisa mendalami realitas-realitas kehidupan yang silih berganti, kemudian menjelaskan solusi Islam terhadap realitas itu. Dengan melihatnya sebagai hukum-hukum syara’ yang wajib diambil, dilihat dari kacamata bahwa ia merupakan hukum syara’ yang digali berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, atau dalil yang ditunjukkan oleh keduanya. Bukan dari kacamata cocok atau tidak cocok untuk masa sekarang. Dengan kata lain, ia harus menjelaskan bahwa hukum mengambilnya adalah wajib, dari kacamata keyakinan untuk mengambilnya, bukan untung atau tidaknya. Maka, untuk menyampaikannya harus dilandasi dengan penjelasan dalil syara’nya yang menjadi pijakan istimbat-nya, atau penjelasan illat-nya dengan illat syar’iyah, yang telah dinyatakan, maupun yang telah ditunjukkan oleh nash syara’ yang serupa. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG