Bab.
Pengantar Sistem Ekonomi
(Kemunduran
Pemikiran Umat)
Syekh Taqiyuddi An Nabhani
PEI-Online : 31/12/2003
Pemikiran,
bagi bangsa manapun, adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya yang
mereka miliki dalam keidupa mereka, apabila mereka adalah sebuah bangsa yang
baru lahir. Bahkan, ia merupakan peninggalan ang sedemikian berharga yang akan
diwarisi oleh generasi penerusnya, apabila bangsa itu telah menjadi sebuah
bangsa yang maju dalam bidang pemikirannya.
Sedangkan
kekayaan yang bersifat materi, penemuan-penemuan ilmiah, industrialisasi serta
hal-hal yang lainnya, masih jauh kedudukannya disbanding dengan pemikiran
tersebut. Bahkan, semuanya bisa diraih melalui pemikiran, dan semata-mata bisa
dilestarikan hanya oleh pemikiran.
Oleh
karena itu, apabila kekayaan ssebuah bangsa yang bersifat materi hancur, maka
dengan segera akan bisa dipulihkan kembali, selama bangsa itu melestarikan
kekayaan berfikir mereka. Nammun apabila kekayaan berfikir mereka telah
terabaikan, dan sebaliknya, mereka malah meletarikan kekayaan materi merka,
maka kekayaan itupun akan segera sirna dan mereka akan kembali menjadi miskin.
Seperti halnya kebanyakan penemuan-penemuan ilmiah yang telah ditemukan oleh
bangsa tersebut telah meninggalkan penemuan-penemuan itu, dengan tidak
meninggalkan metode berpikirnya. Bahkan, sebaliknya, apabila mereka telah meninggalkan
metode berfikir mereka yang inovatif tersebut, maka pasti mereka akan segera
terbelakang lagi. Sehingga penemuan-penemuan yang mereka miliki itu akan musnah.
Karena itulah, maka yang harus dijaga pertama kalinya adalah pemikiran.
Sehingga dengan dasar pemikiran ini, beserta metode berfikirnya yang inovatif
itu, mereka akan bisa meraih sukses materi serta berhasilmenemukan
penemuan-penemuan ilmiah dan industrialisasi (yang sedemikian maju) maupun
hal-hal yang serupa lainnya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan pemikiran di sini adalah adanya aktivitas berfikir pada
diri umat atau bangsa tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi. Dimana
mereka masing-masing secara keseluruhan senantiasa mempergunakan
informasi-informasi yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta
ataupun fenomena untuk memutuskan fakta atau fenomena tersebut. Dengan kata
lain, mereka senantiasa harus memiliki pemikiran yang bisa mereka pergunakan
dalam menatap hidup mereka. Sehingga, karena sedemikian seringnya mereka
mempergunakannya, maka akan muncul kegemilangan metode berpikir mereka yang
inovatif itu pada diri mereka.
Umat
Islam saat ini bisa dianggap sebagai umat yang telah kehilangan pemikirannya,
sehingga pasti mereka telah kehilangan metode berpikirnya yang inovatif. Oleh
karena itu, generasi yang akan datang tidak akan mewarisi pemikiran Islam,
maupun pemikiran-pemikiran non Islam apapun dari pendahulu mereka. Sehingga
dengan begitu mereka juga tidak akan mewarisi satu metode berfikir yang
inovatif pun. Bahkan, mereka juga tidak akan memiliki pemikiran dan metode
berfikir yang inovatif sama sekali. Karena itu, secara pasti umat ini Nampak
telah menderita kemiskinan, sekalipun kekayaan materi di Negara mereka sangat
berlimpah. Mereka juga nampak telah kehilangan kreatifitasnya, sehingga tidak
bisa menemukan penemuan-penemuan ilmiah, maupun melakukan industrialisasi,
meskipun secara teoritis mempelajari, mendengarkan dan menyaksikan
penemuan-penemuan tersebut. Mengapa, karena mereka tidak akan terdorong untuk
melakukannya, kecuali apabila mereka memiliki pemikiran yang produktif yang
mereka pergunakan dalam kehidupan.
Oleh
karena itu, kaum muslimin harus membangun pemikiran dan metode berfikir yang
inovatif itu dalam diri mereka. Kemudian dengan landasan pemikiran itu, mereka
bisa meraih kekayaan yang bersifat materi. Mereka juga akan bisa menemukan
realitas-realitas ilmiah. Setelah itu baru kemudian mereka bisa melakukan
industrialisasi. Selama mereka tidak melakukannya, niscaya mereka tetap tidak
akan mungkin melangkah maju setapak saja. Bahkan, mereka tetap akan berkutat
dalam kubang pengangguran. Dimana peran mereka tetap tidak ada, malah kapasitas
berfikir dan tenaga mereka tetap tersimpan dan baru akan berakhir kalau mereka
mau memulainya.
Generasi
kaum muslimin itu tidak lagi memiliki pemikiran-pemikiran yang bisa
dipergunakan untuk melakukan counter pemikiran yang ingin dijejalkan pada
dirinya, sehingga generasi itu mampu menyadari (kekeliruan) pemikiran yang akan
dijejalkan kepadanya. Karena dengan begitu, akan terjadi pertarungan antara dua
pemikiran, dimana setelah terjadinya pertarungan itu, dia mampu menemukan
pemikiran yang benar. Kenyataannya tidaklah demikian, justru generasi ini telah
kehilangan semua pemikiran beserta seluruh metode berfikirnya yang inovatif
itu. Dimana generasi ini telah mewarisi pemikiran-pemikiran Islam sebagai
sebuah falsafah (pandangan) yang bersifat utopis secara total, sebagaimana
bangsa Yunani yang --pada saat ini—telah mewarisi filsafat Aristoteles dan
Plato. Generasi ini juga telah mewarisi Islam sebagai sebuah upacara dan
symbol-simbol keagamaan, seperti halnya orang-orang Nasrani yang telah mewarisi
agama Nasraninya. Sementara pada saat yang sama, generasi ini telah terpesona dengan pemikiran
Kapitalis, karena melihat keberhasilannya, bukan karena memahami betul realitas
pemikirannya. Juga karena generasi ini telah tunduk pada penerapan
hukum-hukumnya pada diri mereka, bukan karena sadar bahwa pemecahan-pemecahan
itu sebenarnya muncul dari pandangan hidup Kapitalis.
Oleh
karena itu, mereka sendiri tetap jauh dari pemikiran-pemikiran Kapitalis dari
segi proses berfikirnya, sekalipun mereka menatap kehidupan mereka dengan
metode-metodenya. Begitu pula, mereka juga jauh dari pemikiran-pemikiran Islam
dari segi praktiknya, sekalipun mereka beragama Islam dan mengkaji
pemikiran-pemikirannya.
Kegandrungan
mereka terhadap pemikiran-pemikiran terseut telah melampaui batas, hingga
sampai pada usaha untuk mengkompromikan antara Islam dengan hukum-hukum dan
solusi-solusi Kapitalis. Bahkan, mereka sampai pada perasaan inferior (rendah
diri) terhadap kemampuan Islam untuk melahirkan solusi-solusi bagi problem
kehidupan yang senantiasa silih berganti. Yang kemudian melahirkan perasaan
butuh pada hukum-hukum dan solusi-solusi yang Kapitalistik, sebagaimana apa
adanya. Bahkan, tanpa membutuhkan upaya-upaya kmpromi lagi, sehingga tidak
merasa riskan untuk meninggalkan hukum-hukum Islam dan mengdopsi hukum-hukum
non Islam. Tujuannya adalah agar bisa meraih kemajuan hidup dalam percaturan
kehidupan, sejajar dengan dunia yang berperadaban tinggi. Juga agar bisa
menyusul kelompok bangsa-bangsa Kapitalis atau bangsa-bangsa yang menerapkan
Sosialisme sehingga bisa merambah jalan bangsa-bangsa Komunis. Dengan
menganggap, baik Kapitalis maupun Sosialis itu, sebagai bangsa-bangsa yang
maju.
Sedangkan
sisa-sisa yang paling tersisa dari kalangan mereka yang masih memegang Islam
itu, ada yang masih memiliki kegandrungan terhadap pemikiran-pemikiran
Kapitalis. Akan tetapi, mereka masih mempunyai obsesi tentang kemungkinan untuk
mengkompromikan antara Islam dengan ideology non Islam itu tidak memiliki
pengaruh sama sekali dalam kehidupannya, termasuk dalam percaturan masyarakat,
yaitu dalam interaksi yang secara riil berkutat di tengah-tengah kehidupan
manusia.
Oleh
karena itu, memberikan pemikiran-pemikian Islam dan hukum-hukum Syara’ untuk
menjadi solusi kehidupan itu jelas akan mengalami pertarungan dengan
logika-logika yang pemikiran dan metode berfikirnya bersifat utopis. Termasuk
akan mengalami pertarungan dengan kegandrungan semua pihak terhadap
pemikiran-pemikiran Kapitalis atau Sosialis tersebut, seperti ketika terjadinya
pertarungan dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu kehidupan yang
dikendalikan oleh mekanisme system Kapitalis.
Dan
selama pemikiran itu tidak kokoh hingga betul-betul menancap kuat dalam benak
dan akal mereka, maka tidak mungkin orang-orang akan bisa menggoncangnya,
bahkan rasanya sulit memalingkan perhatiannya. Karena dengan pemikiran ini, ia
akan mampu membawa logika-logika yang lemah plus dangkal itu ke dalam proses
berpikir yang mendalam. Ia juga mampu menggoncang kegandrungan-kegandrungan
yang menyimpang serta perasaan yang sakit itu hingga lahir kegandrungan yang
benar, yaitu pada pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Karena
itulah, maka seorang pengemban dakwah Islam harus senantiasa memaparkan
asas-asas yang menjadi dasar pijakan hukum-hukum dan solusi-solusi Kapitalis
tersebut. Dimana ia harus menjelaskan penyimpangan-penyimpangannya, kemudian
menghancurkannya. Ia juga harus senantisa mendalami realitas-realitas kehidupan
yang silih berganti, kemudian menjelaskan solusi Islam terhadap realitas itu.
Dengan melihatnya sebagai hukum-hukum syara’ yang wajib diambil, dilihat dari
kacamata bahwa ia merupakan hukum syara’ yang digali berdasarkan Kitabullah dan
Sunah Rasulullah, atau dalil yang ditunjukkan oleh keduanya. Bukan dari
kacamata cocok atau tidak cocok untuk masa sekarang. Dengan kata lain, ia harus
menjelaskan bahwa hukum mengambilnya adalah wajib, dari kacamata keyakinan
untuk mengambilnya, bukan untung atau tidaknya. Maka, untuk menyampaikannya
harus dilandasi dengan penjelasan dalil syara’nya yang menjadi pijakan istimbat-nya,
atau penjelasan illat-nya dengan illat syar’iyah, yang telah dinyatakan, maupun
yang telah ditunjukkan oleh nash syara’ yang serupa.
0 komentar:
Posting Komentar