Rabu, 12 Juni 2013

KELUARGA: MEMBENTUK KELUARGA ISLAMI


Membentuk   Keluarga   Islami

Oleh : Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid

Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketenangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkungan keluarga. Ingatlah semua ini tak kan terwujud kecuali dengan iman kepada Allah, tawakal, dan mengembalikan semua masalah kepada-Nya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan Syari’at.

Pentingnya keharmonisan keluarga yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Allah dengan hikmah-Nya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. Firman-Nya: “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dan jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21). Ya supaya engkau cenderung dan merasa tenteram kepadanya (Allah tidak mengatakan: ‘supaya kamu tinggal bersamanya’). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.

Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan disaat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan persahabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al-Qur’an menjelaskan: “Mereka itu pakaian bagimu dan kamupun pakaian baginya.” (Al-Baqarah: 187)

Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; pendidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah disana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?

Pilar Penyangga Keluarga ISlami

1.    Iman dan Taqwa

Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Allah dan hari akhir, takut kepada Dzat yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuqarabbah (merasa diawasi oleh Allah) lalu menjauh dari kedzaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran. “Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Allah niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”  (Ath-Thalaq: 2-3)

Diantara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat mengingatkan. Perhatikan sabda Rasulullah: “Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya.”  (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’I, Ibnu Majah)

Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewai namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. Firman-Nya: “Yaitu surga ‘And yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.”  (Ar Ra’du: 23)

2.    Hubungan yang Baik

Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipta kecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan anggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi dalam usaha melakukan penyempurnaan setiap saat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.

3.    Tugas Suami

Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Jka ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan bantu.

Terlalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasulullah bersabda: :Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik.”  (HR. Bukhari, Muslim)
Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. Seorang suami seyogyanya tidak terus menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali.

Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Allah berfirman: “Dan bergaullah bersama mereka dengan patut.Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikannya kebaikan yang banyak.”  (An-Nisa’: 19)

Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.

Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhkan diri dari prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.

4.    Tugas Istri

Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagai istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.
Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mengabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi.

Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: “Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk surga.”  (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)

Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.
Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian antara sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendzalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.

Penutup

Lurusnya keluarga menjadi media untuk menciptakan keamanan masyarakat. Bagaimana bisa aman bila ikatan keluarga telah amburadul. Padahal Allah memberi kenikmatan ini yaitu kenikmatan kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.

Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orangtua ditambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masa depan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekedar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.

Semoga Allah merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap  keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Allah merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memeliharanya. Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya akan dimudahkan urusannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG