Membentuk Keluarga Islami
Oleh : Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid
Mayoritas manusia tentu
mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketenangan jiwa. Tentu pula
semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih
dalam lingkungan keluarga. Ingatlah semua ini tak kan terwujud kecuali dengan
iman kepada Allah, tawakal, dan mengembalikan semua masalah kepada-Nya,
disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan Syari’at.
Pentingnya keharmonisan
keluarga yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan
keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Allah dengan hikmah-Nya telah
mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan
tentram di dalamnya. Firman-Nya: “dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dan
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21). Ya
supaya engkau cenderung dan merasa tenteram kepadanya (Allah tidak mengatakan: ‘supaya
kamu tinggal bersamanya’). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa
serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.
Maka suami istri akan
mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan
mendapati kelapangan disaat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan
suami istri adalah kekerabatan dan persahabatan yang terpancang di atas cinta
dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan
seseorang dengan dirinya sendiri. Al-Qur’an menjelaskan: “Mereka itu pakaian bagimu dan kamupun pakaian baginya.” (Al-Baqarah:
187)
Terlebih lagi ketika
mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; pendidikan anak dan
jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir
keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah disana
komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?
Pilar Penyangga Keluarga ISlami
1.
Iman dan Taqwa
Faktor
pertama dan terpenting adalah iman kepada Allah dan hari akhir, takut kepada
Dzat yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan
bermuqarabbah (merasa diawasi oleh Allah) lalu menjauh dari kedzaliman dan
kekeliruan di dalam mencari kebenaran. “Demikian
diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Allah niscaya Dia kan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan keperluannya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Diantara yang
menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta
saling ingat mengingatkan. Perhatikan sabda Rasulullah: “Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan
membangunkan istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke
wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat
dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka
dipercikkannya air ke wajahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’I, Ibnu Majah)
Hubungan
suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewai namun berupa interaksi
jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke
kehidupan akhirat kelak. Firman-Nya: “Yaitu
surga ‘And yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh
dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.” (Ar Ra’du: 23)
2.
Hubungan yang Baik
Termasuk
yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipta
kecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan anggotanya adalah hal mustahil dan
merasa frustasi dalam usaha melakukan penyempurnaan setiap saat mereka atau
yang lainnya termasuk sia-sia juga.
3.
Tugas Suami
Seorang suami
dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah
secara fisik atau pribadinya. Jka ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu
maka ia akan bantu.
Terlalu berlebih
dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti
menceraikannya. Rasulullah bersabda: :Nasehatilah
wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian
yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka
berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja
bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik.” (HR. Bukhari, Muslim)
Jadi
kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk
menghadapinya. Seorang suami seyogyanya tidak terus menerus mengingat apa yang
menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan
mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali.
Dalam hal
ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang
dibencinya maka tidak tahu dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Allah
berfirman: “Dan bergaullah bersama mereka
dengan patut.Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah. Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikannya kebaikan yang
banyak.” (An-Nisa’: 19)
Apabila
tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan
cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek
pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah,
jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu
berburuk sangka.
Padahal
sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah
tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhkan diri dari prasangka buruk
yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan
segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah
dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.
4.
Tugas Istri
Kebahagiaan,
cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui
kewajiban dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin,
pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagai
istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya
serta memperhatikan diri dan rumahnya.
Inilah
istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah
suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya. Juga mengakui kecakapan
suami dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan
kekeliruan dan mengabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami
hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi.
Dengan ini
sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan,
mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits:
“Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk
surga.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu
Majah)
Maka
bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya
keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang
kondusif bagi tarbiyah.
Selain itu
tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan
saling pengertian antara sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan
yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendzalimi satu sama
lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.
Penutup
Lurusnya keluarga menjadi
media untuk menciptakan keamanan masyarakat. Bagaimana bisa aman bila ikatan
keluarga telah amburadul. Padahal Allah memberi kenikmatan ini yaitu kenikmatan
kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.
Hubungan suami istri yang
sangat solid dan fungsinya sebagai orangtua ditambah anak-anaknya yang tumbuh dalam
asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masa depan. Karena itu
ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekedar
menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya
ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.
Semoga Allah merahmati pria
yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang,
tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Allah
merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet,
shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Allah
telah memeliharanya. Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang
siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya akan dimudahkan urusannya.
0 komentar:
Posting Komentar