Kamis, 06 Juni 2013

PERANG SALIB 2


Tarikh II
PERANG   SALIB   DAN   PEMBEBASAN   BAITUL   MAQDIS
(583 H/1187 M)
Bagian Kedua-Habis

3.          Perang Salib II (1147-1149 M/542-544 H)
Sesungguhnya kedatangan Tentara Salib itu bukan hanya ingin membebaskan Baitul Maqdis. Lebih dari itu mereka mengadakan penyerbuan tidak lain untuk mencari tanah jajahan dan keuntungan materi.
Kaum muslim mulai bangkit kembali sejak Imaluddin Zanki berhasil mengalahkan Joscelin II dari Kerajaan Raha (Odessa) pada tahun 536 H (1141 M). Sejak kekalahan itu tentara Salib dan kerajaan kecil Kristen selain Odessa mulai gelisah. Karena itu, Eropa (kebanyakan dari Prancis dan Jerman) mengirimkan bala tentara baru. Tentara ini berangkat atas perintah Pendeta Bernadus dan Paus Ouganius III. Tentara Salib dalam Perang Salib II tidak lagi bercampur dengan para pembegal atau perampok. Kali ini tentara yang bertempur berasal dari kalangan terpilih dan merupakan pasukan elit. Namun demikian, kekejaman mereka tidak lebih rendah daripada sebelumnya. Tentara pilihan ini masih tetap kebanyakan dari orang-orang Prancis yang dikepalai oleh Lowiyk VII (Louis VII). Selain itu, ada juga tentara yang berasal dari Jerman yang di kepalai oleh Kaisar Konrad III dengan didampingi oleh Roger (anaknya) dan Raja Sisilia (Italia).
Kaisar Konrad III mencoba menyerbu daerah perbatasan Syam (Damaskus). Pertempuran hebat terjadi di al-Mizzah. Di sinilah ke dua pasukan mengadu keterampilan tombak, pedang, dan panah, juga kepiawaian komandan dan pasukan tentaranya. Dengan semangat jihad, tentara kaum Muslim berhasil mengalahkan tentara Salib. Konrad lari terbirit-birit ke Konstantinopel. Begitu juga dengan usaha penyerbuan dari Lodewiyk VII (Louis VII) yang bernasib sama; tentaranya kalah total dan dia terpaksa melarikan diri, mula-mula ke Antiokia, kemudian bersembunyi di Yerusalem. Kedua pimpinan tentara Salib ini akhirnya pulang. Kepemimpinan tentara Salib akhirnya diserahkan kepada Almalric. Pada interval waktu ini, mereka memperoleh bantuan dari orang-orang Daulah Fathimiyah di Mesir. Bersama orang-orang Yahudi, mereka berusaha menggali pusara Rasulullah SAW. Untuk mencuri jenazah beliau.
Setiap usaha untuk menaklukkan daerah Damaskus selalu saja dapat dipatahkan oleh keluarga Zanki, yaitu Nuruddin Saifuddin Zanki (anak dari Imaduddin Zanki) dan panglimanya, Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub. Begitu juga ketika mereka ingin menaklukkan Mesir.

4.          Penaklukan Mesir
Usaha penaklukan Mesir dilakukan oleh tentara Salib. Daerah ini dipandang sangat strategis bagi gerak mereka selanjutnya. Pada saat yang sama, Nuruddin Zanki juga mempunyai keinginan yang sama. Ketika itu, Mesir dikuasai oleh keluarga Fathimiyyin. Mesir dalam keadaan yang lemah. Saat itu, kekuasaan disana justru hanya dipegang oleh para menterinya. Menteri yang terkenal saat itu adalah Syawir dengan panglima pasukannya Dirgham terdapat ketidakcocokkan dan saling berlawanan dalam hal kewenangan komando.
Niat tentara Salib tersebut didahului oleh Nuruddin Zanki atas nasihat Asaduddin Syirkatu dan Shalahuddin al-Ayyubi (panglima perangnya), yaitu dengan mengirim utusan ke Mesir. Lalu, dibuatlah perjanjian bahwa jika Nuruddin Zanki berhasil menyelamatkan Mesir dari tentara Salib, sepertiga daerah Mesir akan diberikan kepada Nuruddin. Isi perjanjian lainnya adalah bahwa jika Nuruddin berkuasa, maka Syawir tetap diminta untuk menjadi menterinya.
Setelah perjanjian tercapai, Nuruddin mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan Asaduddin al-Ayyubi. Kedatangan tentara Islam ini tidak disambut baik oleh Syawir. Kedatangan tentara Islam ini malah dilaporkan kepada tentara salib yang berada di Baitul Maqdis. Terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dengan tentara Salib di padang Pasir Mania dan Babain (dekat Fusthat). Disini, tentara Islam mendapat kemenangan (tahun 1167 M). untuk membendung tentara Salib, Syawir membakar kota Fusthat. Akan tetapi anehnya, di sini ia justru mengadakan perjanjian rahasia dengan tentara Salib.
Tipu daya dan pengkhianatan Syawir cukup merepotkan tentara Islam. Namun demikian, tentara Islam terus maju menuju Kairo, sedangkan tentara Salib menuju Iskandariah. Tentara Salib kemudian mengepung kota Kairo dari segala pejuru (darat dan laut). Shalahuddin mempertahankan kota ini dengan gigih dan gagah berani sambil menunggu bala bantuan dari Asaduddin Syirkatu. Akhirnya, karena tidak mendapatkan apa-apa dari usaha pengepungan Mesir, tentara Islam menarik seluruh pasukannya. Akan tetapi, liciknya, tentara Salib hanya menarik separuh saja pasukannya dari Mesir. Setelah tentara Islam keluar, dengan mudah tentara Salib menguasai daerah-daerah Mesir. Kemudahan itu karena disokong oleh pengkhianatan Syawir. Tentara Salib dalam berbagai penaklukkannya melakukan pembumihangusan kota dan harta benda, pemerkosaan terhadap wanita-wanita, dan pembunuhan terhadap berbagai lapisan masyarakat yang tidak berdosa. Mereka kemudian melanjutkan ekspansinya ke Kairo sambil melakukan pengrusakan, pembunuhan, serta berbagai tindakan kejam lainya yang telah terkenal sebagai karakter dan lambing kebiadaban mereka.
Pelanggaran tentara Salib terhadap isi perjanjian menyebabkan kemarahan Nuruddin Saifuddin Zanki. Ia kemudian mengirim kembali pasukannya di bawah pimpinan Asaduddin dan Shalahuddin. Kedatangan tentara Islam ini disambut dengan gemuruh suka cita dan kerinduan. Catatan sejarah menyebutkan bagaimana rakyat Mesir menyambutnya dengan teriakan takbir dan tahlil.
Mesir akhirnya dapat dikuasai kembali, sedangkan Syawir ditangkap dan dibunuh oleh Asaduddin Syirkatu. Karena jasanya ini, Asaduddin diangkat menjadi perdana menteri Mesir menggantikan Syawir sang pengkhianat itu. Akan tetapi, kejadian sedih menimpa kaum muslim dengan meninggalnya panglima Asaduddin. Nuruddin selanjutnya mengangkat Shalahuddin sebagai panglima pasukan Islam.

5.          Perang Salib III (1189-1192 H)
Shalahuddin al-Ayyubi Menaklukkan Baitul Maqdis
      Kecakapan Shalhuddin telah diperlihatkan sejak penaklukan Mesir dari cengkraman tentara Salib. Dalam perang Salib III inilah, kecakapan dan kepribadian agung Shalahuddin lebih mencuat. Diangkatnya Shalahuddin berhasil menjunjung kembali kejayaan Islam yang hamper saja punah oleh haru-birunya tentara Salib.
      Kekalahan demi kekalahan yang di derita pasukan Salib menyebabkan mereka kembali mengirimkan pasukan Tentara Salib yang ketiga. Kali ini, gelombang pasukan mereka di pimpin oleh Philip Augustus (Raja Prancis), Frederick Barbarosa (Kaisar Jerman), dan Richard The Lion Heart (Richard, Raja Inggeris, si Hati Singa yang terkenal kejam). Sementara itu, keadaan kekuasaan Saljuk di Syam mulai goyah sejak Nuruddin Saifuddin Zanki wafat. Ia hanya meninggalkan seorang anak yang masih kecil sedangkan setiap anggota keluarganya berambisi mengambil kekuasaan. Celakanya, mereka tidak segan-segan berbaku hantam, bahkan berperang sekalipun.
      Keadaan genting itu menyebabkan Shalahuddin segera bertindak menaklukan kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh keluarga Zanki dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Saljuk. Shalahuddin berhasil menaklukan Damaskus, Homs, dan Hama. Semua itu dilakukannya karena ia ingin kembali mempersatukan seluruh negeri-negeri Islam. Usaha yang mulia ini berhasil direalisasikannya. Bahkan, kekuasaan yang berhasil dikembalikan ke pangkuan kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Irak, Kurdistan, Syam, Mesir, dan Libya.
      Dalam usaha mempersatukan daerah-daerah Muslim itu, Shalahuddin mengadakan perjanjian dengan pimpinan Tentara Salib, yaitu Kaisar Renaulde de Chattilon, yaitu agar tidak saling menyerang, serta saling menjaga dan melindungi kafilah Islam yang berkunjung ke Baitul Maqdis. Pimpinan tentara Salib yang sekaligus Raja Baitul Maqdis ini terkenal karena memiliki benteng yang kuat, yaitu al-Kark.
      Akan ttapi, dalam kenyataannya, Renaulde akhirnya berkhianat yaitu dengan merampok rombongan yang hendak beribadah haji ke Makkah. Di dalam rombongan itu, turut serta saudara perempuan Shalhuddin. Pengkhianatan ini menyebabkan Shalahuddin berang. Ia berjanji akan membunuh Renaulde. Ia bersama pasukannya lalu memasuki Yerussalem dan mengepung kota ini. Puncak pertempuran dalam perang Salib III adalah pertempuran yang terjadi di Hittin (tahun 1187 M). Benteng al-Kark, yang kondang kekokohannya itu, berhasil direbut tentara Islam. Lebih dari 10.000 tentara Salib binasa, banyak perwira tentaranya yang berhasil ditawan, bahkan Renaulde sendiri berhasil ditangkap.
      Setelah Baitul Maqdis jatuh, kota-kota seperti Akka, Nablus, Jenin, Samirah, Thabariyah, Palestina, Ramallah, Sidon (sekarang disebut Libanon Selatan), Kesaniyah, Jafa, Askalan, Beirut dan Ghaza, menyusul dapat dikuasai.
      Akhirnya, Shalahuddin berhasil memasuki Baitul Maqdis dan membebaskannya dari tentara Salib. Shalahuddin memasuki kota suci ini pada hari Jum’at, tanggal 27 Rajab 583 Hijriah, dengan mengumandangkan takbir. Ia bersama tentara Islam masuk ke dalam Masjid al-Aqsha dan Masjid ash-Shakarah lalu membersihkannya dengan air bunga. Untuk pertama kalinya azan kembali bergema dari ke dua menara masjid tersebut.
      Keberhasilan Shalahuddin menyatukan kembali negeri-negeri Islam dalam kesatuan Daulah Islam sesungguhnya suatu prestasi yang tinggi. Kita melihat langkah pertama yang dilakukannya adalah mengambil alih kekuasaan dari keluarga Fathimiyah yang Syiah itu yang ada di Mesir. Sebelumnya, ia telah berhasil menyatukan Syam, Makkah, Madinah, Yaman, serta memusnahkan kekuasaan Adarisah di Marokko yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih di Baghdad. Akhirnya, sejarah mencatat bahwa ia telah berhasil menyatukan kembali  negeri-negeri Islam mulai dari wilayah Syam hingga ke Sudan kea rah Selatan (Afrika), Libya di arah Barat, sampai ke Armenia di Eropa Timur (kini di bawah kekuasaan Rusia Komunis). Bahkan, ia juga berhasil menyatukan daerah Irak bagian Timur.
      Banyak penulis yang mengisahkan kepiawaian dan kecerdikan Shalahuddin serta kegagahberaniannya. Namun, justru yang paling menonjol adalah keluhuran akhlaknya.
      Ketika ia berhasil menaklukan Baitul Maqdis, ia memberikan kesempatan kepada keluarga-keluarga Kristen yang ingin keluar dari Baitul Maqdis untuk bersiap-siap dalam waktu 40 hari. Siapa saja yang tidak mempunyai biaya untuk keberangkatannya itu, Shalahuddin member mereka bekal. Raja Baitul Maqdis dibebaskan dengan syarat ia berjanji untuk tidak menyerang lagi.
      Shalhuddin melarang keras tentara Islam mengganggu umat Nasrani yang ada di kota ini. Dalam waktu yang bersamaan, semua tawanan diperlakukan secara terhormat. Bahkan, dalam waktu yang relative singkat, seluruhnya mereka dibebaskan dengan hanya membayar 10 dina. Kemuliaan Shalhuddin yang terpuji ini menyebabkan tentara Salib dengan senang hati mengosongkan seluruh benteng mereka, kemudian dengan perasaan damai dan di bawah perlindungan tentara Islam, mereka meninggalkan kota Suci itu.
      Dalam episode yang lain, ketika secara perorangan Shalahuddin al-Ayyubi berhadapan dengan Richard si Hati Singa, sebelum mengadu kepiawaian, mereka terlebih dahulu berikrar yaitu, bila salah pihak ada yang kalah, maka akan diadakan perjanjian. Ternyata, Shalahuddin (dengan sengaja) kalah. Kemudian dibuatlah perjanjian yang isinya :
      Baitul Maqdis tetap di bawah kekuasaan Islam, dengan syarat kaum Kristen tidak dihalangi untuk berziarah ke sana; kaum Salib akan melindungi pantai Syam sepanjang Tyrus sampai ke Jafa; dan panji-panji perlambang agama Kristen yang pernah di rampas Umat Islam, dikembalikan lagi kepada umat Kristen.
      Episode perang Salib terus berlangsung. Sejarah telah mencatat bahwa perang ini sangat panjang dan melelahkan kedua pihak. Perang tersebut berlangsung lebih kurang 200 tahun, dimulai dari Perang Salib I sampai VII. Sejak Perang Salib IV sampai VII, tentara Salib sama sekali tidak mendapatkan apapun. Mereka lebih banyak menelan kekalahan daripada meraih kemenangan. Selain itu, kerugian personal dan material dari kedua pihak sangat banyak. Itulah peperangan terpanjang yang pernah ditayangkan diatas panggung sejarah kemanusiaan. Di arena perang itu diperlihatkan segala kepiawaian dan kecerdikan, kelicikan dan keculasan, pengkhianatan, kebiadaban, dan sebagainya. Akan tetapi, hanya yang berkualitas dan benarlah yang layak meraih kemenangan di atas landasan strategi, teknik dan taktik yang tepat dan benar pula, tanpa menghalalkan segala cara.

Baitul Maqdis Sekarang
                Sejak Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan kota Suci Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Salib (Kristen), umat Islam tetap mempertahankan daerah itu selama lebih dari delapan abad (583-1377 H). Baru tahun 1967 M, tanah suci itu jatuh ke tangan musuh Islam terbesar, yang pertama dan utama, yaitu orang-orang Yahudi (negeri Israel alias Zionis).
                Bagaimana kisahnya sampai Israel berhasil menguasai tanah Suci tersebut tanpa harus berperang, tanpa mendapatkan perlawanan dari Kaum Muslim di wilayah itu tanpa ada reaksi dari para pemimpin di sana? Melalui tulisan ini, kami ingin memaparkan sekaligus mengingatkan dua tragedy terbesar pada abad ke-20 ini, yaitu keruntuhan atau kehancuran Khilafah Islam dan pencaplokan tanah Suci Baitul Maqdis yang dilakukan oleh Israel.

a.       Situasi Kekuasaan dan Perpolitikan Israel
Inggris, yang saat itu sangat menguasai konstelasi politik di dunia, secara dominan, banyak mempengaruhi perpolitikan Israel. Untuk megukuhkan pengaruhnya, Inggris mengangkat Moshe Dayan (si Picak) sebagai Menteri Pertahanan dan Hayem Barly sebagai Panglima Perang. Secara resmi, kedua orang ini bertugas pada tanggal 1 Juni 1967. Selain itu, Inggris juga mengirimkan bantuannya berupa sejumlah besar pesawat tempur beserta pilot tempur dan penasihat militernya yang mengatur strategi perang melawan kaum Muslim. Inilah keterlibatan Inggris dalam usaha mencengkeramkan kuku-kuku beracun Zionisme Israel di Tanah Palestina dan sekitarnya.
Keterlibatan Inggris ini diungkapkan oleh Gamal Abdel Nasser (waktu itu sebagai Presiden Mesir), yaitu sejauh mana Inggris terlibat melalui bantuan peralatan militer dan ahli strategi perang menyerang kubu-kubu pertahanan kaum Muslim.

b.      Kelicikan dan Pengkhianatan
Adalah Husein ibn Thalal ibn Abdullah al-Hasyimi, Raja Yordania, yang telah diketahui oleh semua orang bahwa keluarga Hasyimi, sejak Raja Abdullah sampai Raja Hussein adalah kaki tangan Inggris. Inggrislah yang telah menyerahkan Yordania kepada Raja Abdullah. Karena keluarga Hasyimi ini loyal kepada Inggris dan tidak pernah berpaling kepada Negara lain. Maka antara tanggal 22-26 Mei 1967, Inggris menghubungi Hussein untuk mengadakan pertemuan dengan Duta besar Mesir di Amman (Mesir) dan Gubernur Yerusalem, Anwar al-Khatib. Dalam pertemuan itu, Hussein meminta kesediaan duta besar Mesir untuk menyampaikan keinginannya kepada Gamal Abdel Nasser agar dimungkinkan mengadakan perjanjian kerja sama bilateral di bidang militer antara Yordania dengan Mesir. Bahkan, secara sepihak, tawaran itu diembel-embeli lagi, yaitu apabila di antara anggota cabinet Hussein ada yang tidak disenangi Nasser, maka Hussein bersedia memecatnya. Akan tetapi tawarannya itu ditolak Nasser.
Penampikan ini tidak membuat Hussein patah semangat. Pada tanggal 30 Mei 1967, ia mengadakan kujungan resmi kenegaraan ke Mesir. Kunjungan ini akhirnya memaksa Nasser menandatangani perjanjian rencana kerjasama bilateral, terutama dibidang pertahanan dan militer.
Sesungguhnya, ada maksud apa gerangan dibalik semua itu, sehingga Inggris berusaha demikian keras agar Hussein meibatkan diri dalam perang melawan Israel dengan terlebih dulu melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama seperti itu dengan pihak Mesir?
Kita memahami bahwa pada waktu itu cengkeraman kuku beracun Zionisme Israel belum menancap kokoh di bumi Palestina dan sekitarnya, sehingga Israel memerlukan daerah yang defenitif dan kokoh untuk menunjang keberadaannya di wilayah Timur Tengah. Dengan keterlibatan Hussein bersama Mesir, maka ia mempunyai alasan untuk merealisasikan keinginan Israel tersebut, yaitu dengan menyerahkan Tepi Barat Sungai Yordan kepada Israel dalam suatu momen peperangan. Tidak itu saja, bahkan Inggris bersama Hussein ingin menjatuhkan Nasser agar negeri tersebut dapat menguasai Mesir kembali. Sebab, Nasserlah yang telah mengusir Inggris dari Mesir, yaitu dengan menghalau 85.000 personil tentara beserta amunisinya keluar dari Mesir tahun 1956. Inilah episode pengkhianatan Hussein kepada kaum Muslim.
Kebulatan tekadnya itu telah dicetuskannya pada tanggal 29 Mei dalam rapat cabinet terbatas dengan para jenderal, komandan, dan ahli strategi perang. Pada forum itu, ia bersumpah sampai tiga kali, “Aku akan menjatuhkan Nasser yang agen Amerika itu dalam peperangan ini (yakni perang yang dikenal dengan perang Enam Hari pada bulan Juni 1967). Setelah penandatanganan perjanjian kerjasama tersebut (tanggal 30 Mei 1967) dan bersamaan dengan pengangkatan Moshe Dayan sebagai Perdana Menteri Pertahanan (tanggal 1 Juni 1967), Perdana Menteri Inggris, Harold Wilson, mengadakan kunjungan kenegaraan ke Kanada dan Amerika Serikat pada tanggal 2 Juni 1967. Kunjungan ini adalah lawatan negosiasi agar Amerika tidak usah ikut campur apabila Israel menyerang Mesir. Tanggal 4 Juni 1967, ia kembali ke Inggris setelah memperoleh jaminan bahwa Amerika tidak akan ikut campur dalam konflik apapun yang terjadi di Timur Tengah. Saat itu, Nasser adalah agen Amerika.
Tanggal 5 Juni 1967, Israel mulai mengadakan penyerangan pertama ke wilayah Sinai (Mesir) dan Tepi Barat Sungai Yordan (Yordania). Perang ini terkenal dengan Perang Enam Hari. Pada waktu itu, Nasser terkejut dengan perubahan politik yang mendadak di seputarnya. Ia kaget oleh serangan yang dilakukan Israel; sesuatu yang tidak disangka-sangka akhirnya terjadi. Setelah kekalahan Perang Enam Hari yang memalukan, yaitu dicaploknya Gurun Sinai oleh Israel, Nasser berpura-pura mengundurkan diri. Ia lalu mengangkat seorang pembantunya yang terkenal kedunguannya. Taktiknya ini menyebabkan rakyat yang tidak mengerti kelicikan Nasser, meminta Nasser kembali menjabat sebagai Presiden.
Dalam pada itu, pengkhianatan terbesar lainya adalah tindakan Hussein yang dengan sukarela dan tanpa melakukan sedikitpun perlawanan menyerahkan Tepi Barat (yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis dan Masjid al-Aqsha) kepada Israel. Inilah tipuan perang yang dilakukan Hussein. Ia bekerjasama dengan seluruh jajaran media massa menceritakan berbagai momen pertempuran yang semuanya adalah fiktif dan bualan belaka. Kita mungkin belum lupa bagaimana siaran radio menyebutkan bahwa telah sekian puluh pesawat Israel jatuh tertembak oleh pasukan Yordania. Padahal, tidak satupun pesawat tempur Israel yang jatuh tertembak oleh pasukan Yordania. Padahal tidak satupun pesawat tempur Israel yang jatuh, karena memang saat itu tidak ada peperangan apapun. Kita juga masih ingat, bagaimana 300 buah tank diberangkatkan ke Tepi Barat. Akan tetapi disini, mereka hanya berdiam diri sambil menunggu perintah. Panglima perangnya ketika itu dipegang langsung oleh Hussein. Namun, perintah untuk berperang melawan Israel tidak pernah muncul karena hal ini memang disengaja oleh Hussein.
Akhirnya, kita mendengar, bagaimana seluruh tank beserta orang-orang yang berada di dalamnya dibinasakan Israel. Bahkan, betapa biadabnya Hussein ketika ia secara sengaja mengorbankan tentara cadangan yang berada di Ghaur (dekat Tepi Timur Sungai Yordan). Pasukan cadangan ini sebagian di tarik mundur, sebagian lagi disuruh menunggu perintah (yang tidak pernah muncul), serta sebagian lainnya sengaja diumpankan kepada Israel untuk dibantai.
Kita juga tidak pernah melupakan, bagaimana Hussein secara licik menarik pasukan yang berada di Jenin dan Yerusalem ke Tepi Timur yang sama sekali tidak ada pasukan Israel sebagai lawan mereka. Dengan demikian, Israel denga mudah menguasai Yerusalem hanya dalam waktu 48 jam. Kebiadaban serupa dilakukan Hussein terhadap pasukan yang berada di Kafer ‘Ashyun. Tidak hanya itu, Hussein juga memerintahkan kepada semua pasukan yang ditarik mundur itu untuk melucuti dan meninggalkan semua senjata mereka. Bahkan, untuk melemahkan semangat pasukan ini, Hussein sengaja menyebarkan isu bahwa Tepi Barat telah dikuasai oleh Israel. Oleh karena itu, katanya, kita tidak ada gunanya lagi berperang.
Di kota al-Khalil, berkali-kali penduduk di sana meminta dipersenjatai supaya mereka dapat membantu mempertahankan wilayah Tepi Barat dan sekitarnya. Karena tidak mendapat tanggapan yang serius, akhirnya pada tanggal 7 Juni 1967 para penduduk mendatangi kediaman Gubernur wilayah ini. Akan tetapi, mereka mendapat jawaban bahwa pasukan pemerintah cukup tangguh dan kuat untuk mengatasi semua persoalannya. Karena, terus menerus didesak , akhirnya Gubernur wilayah al-Khalil membuka rahasia bahwa sesungguhnya kota mereka telah diserahkan kepada Israel melalui perjanjian yang sangat rahasia pada tanggal 6 Juni 1967. Akhirnya, tanggal 7 Juni 1967, Israel dengan mudah memasuki al-Khalil dan menguasainya tanpa berperang. Untuk memudahkan Israel mencengkeramkan ketajaman kuku-kukunya, Hussein terjun langsung ke lapangan memberikan komando di wilayah Tepi Timur. Orang-orang, sekalipun mengetahui pengkhianatan Hussein, tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan kudeta, karena kepemimpinan tertinggi angkatan bersenjatanya berada di tangan Hussein.
Itulah kisah pengkhianatan Raja Hussein dari Yordania dalam andi besarnya menyerahkan Tepi Barat Sungai Yordan ke tangan Israel, tanpa ada letusan mesiu sedesing pun ataupun tidak ada perang; yang ada hanyalah kelicikan, penipuan, dan pengkhianatan. Dengan demikian, Hussein telah menyerahkan Masjid al-Aqsa ke tangan Israel agar Zionis Yahudi itu mudah menancapkan tiang pancang dan kibaran benderanya di atas kubah Masjid al-Aqsa yang dahulu direbut dengan tetesan keringat, banjir darah, dan air mata kesedihan tentara Islam pimpinan Abu ‘Ubaydah ibn al-Jarrah pada masa Kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khaththab, yang kemudian kota suci ini kembali dikuasai oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada masa Kekhalifahan an-Nasser Lidinillah.

Berbagai Pertanyaan Bernada Sedih
                Sampai sekarang, umat Islam belum berhasil membebaskan Tanah Suci Baitul Maqdis dari cengkeraman Israel. Umat ini telah dibodoh-bodohi dan ditipu oleh para pemimpinya sehingga hamper tidak ada kesempatan secara serentak untuk melakukan serangan dalam upaya merebut kembali kota tersebut. Kita telah melihat bahwa hamper seluruh pemimpin kaum Muslim lebiih suka berdamai dengan Israel seraya mengakui eksistensinya daripada memeranginya guna merampas dan mengembalikan Masjid al-Aqsa berikut wilayah-wilayah yang diduduki Israel ke pangkuan umat Islam.
                Akibat sikap yang demikian, Israel dengan berani dan leluasa membakar Masjid al-Aqsha pada tahun 1969. Bukan itu saja, mereka pun membiarkan orang-orang Yahudi berpesta pora dan membuang hajat serta bermain asmara di dalamnya. Kita acap mendengar, betapa seringnya tentara Israel menyerang kaum Muslim secara biadab, dengan berondongan senjata mesin otomatis membabi-buta, ketika kaum Muslim sedang khusyuk melakukan shalat Jum’at. Kita juga sudah terlalu sering mendengar, bagaimana mereka mempermainkan dan menghina kesucian masjid ini dengan cara menutupnya untuk kemudian di buka kembali.
                Kesucian dan kemuliaan Masjid al-Aqsha telah dinodai oleh kelompok manusia yang paling terhina di bumi ini, yaitu orang-orang Yahudi terkutuk. Sebaliknya, orang-orang yang dimuliakan Allah swt, yaitu kaum Muslim, kini telah dihina dan terhina. Umat ini lebih banyak bertopang dagu atau berpangku tangan melihat semua tindakan Israel yang licik, biadab, kejam, dan tindakan buas lainnya.
                Kita patut bertanya, apakah ghirah Islam telah hilang sama sekali dari hati umat Islam di dunia ini? Apakah kita hanya cukup memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj dan berlomba-lomba dengan segala kemegahannya, sementara pada saat yang sama, Masjid al-Aqsha tempat Rasulullah saw di Isra’ Mi’rajkan tetap dikuasai oleh orang-orang Yahudi; suatu kaum yang amat sangat membenci Islam dan umatnya? Kitapun boleh bertanya, sampai kapankah umat Islam tetap bersikap demikian?
                Kita meyakini bahwa banyak di antara kaum muslim sekarang rindu untuk mengorbankan diri serta menumpahkan darahnya (dengan mati syahid) demi bebasnya Tanah Suci Baitul Maqdis dan seluruh Tanah Palestina secara keseluruhan. Sudah banyak kita mendengar dan melihat betapa secara pribadi orang-orang mulai melakukannya. Misalnya, dengan hanya berbekal balon terbang, mereka memasuki wilayah teersebut serta membunuh tentara dan orang-orang Yahudi; atau dengan bekal senjata api, mereka menyeberangi perbatasan masuk wilayah Israel; atau dengan mengendarai kendaraan yang diisi dengan bom, mereka menabrakkan kendaraannya itu kepada barak atau kumpulan tentara atau orang-orang Yahudi – walaupun semua itu harus mereka tebus dengan kematian (syahid).

Sebuah Harapan Membentang
                Kita sebagai Muslim menolak adanya Negara Palestina. Palestina adalah tanah yang terkait erat dengan akidah Islam. Allah swt telah menjadikan Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis) sebagai kiblat pertama bagi kaum Muslim sebelum daerah itu ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslim. Rasulullah saw telah diisrakan disini, juga dihidupkan seluruh Nabi dan Rasul untuk melakukan shalat berjamaah yang diimami oleh Rasulullah Muhammad saw. Disunnahkan bagi kaum Muslim untuk menunaikan shalat di Masjid al-Aqsha dengan ganjaran pahala 500 kali dibandingkan dengan menunaikan shalat di masjid lain (di masjid Haram ganjaran pahalanya 1.000 kali). Pada masa Rasulullah saw disunnahkan bagi yang belum mampu berziarah ke Masjid al-Aqsha mengirimkan minyak untuk dipakai sebagai lampu di dalam masjid tersebut.
                Imam al-Wasithi telah meriwayatkan hadis dari Makhul ra bahwa Maymunah ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang Baitul Maqdis. Ketika itu, Rasulullah saw menjawab :

                “Sebaik-baik tempat tinggal (bagi seorang muslim) adalah Baitul Maqdis. Siapa saja yang melakukan shalat di dalamnya, maka ia seperti telah melakukan 1000 kali shalat di masjid lain. Siapa saja yang tidak mampu (mendatanginya), maka (cukuplah) ia mengirimkan minyak (yang biasa dipakai untuk menyalakan lampu ketika itu) ke mesjid tersebut.” (Lihat: Imam as-as-Suyuthi, ibidem). []

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG