Tarikh
II
PERANG SALIB DAN PEMBEBASAN
BAITUL MAQDIS
(583 H/1187 M)
Bagian Kedua-Habis
3.
Perang
Salib II (1147-1149 M/542-544 H)
Sesungguhnya
kedatangan Tentara Salib itu bukan hanya ingin membebaskan Baitul Maqdis. Lebih
dari itu mereka mengadakan penyerbuan tidak lain untuk mencari tanah jajahan
dan keuntungan materi.
Kaum
muslim mulai bangkit kembali sejak Imaluddin Zanki berhasil mengalahkan
Joscelin II dari Kerajaan Raha (Odessa) pada tahun 536 H (1141 M). Sejak
kekalahan itu tentara Salib dan kerajaan kecil Kristen selain Odessa mulai
gelisah. Karena itu, Eropa (kebanyakan dari Prancis dan Jerman) mengirimkan
bala tentara baru. Tentara ini berangkat atas perintah Pendeta Bernadus dan
Paus Ouganius III. Tentara Salib dalam Perang Salib II tidak lagi bercampur
dengan para pembegal atau perampok. Kali ini tentara yang bertempur berasal
dari kalangan terpilih dan merupakan pasukan elit. Namun demikian, kekejaman
mereka tidak lebih rendah daripada sebelumnya. Tentara pilihan ini masih tetap
kebanyakan dari orang-orang Prancis yang dikepalai oleh Lowiyk VII (Louis VII).
Selain itu, ada juga tentara yang berasal dari Jerman yang di kepalai oleh
Kaisar Konrad III dengan didampingi oleh Roger (anaknya) dan Raja Sisilia
(Italia).
Kaisar
Konrad III mencoba menyerbu daerah perbatasan Syam (Damaskus). Pertempuran
hebat terjadi di al-Mizzah. Di sinilah ke dua pasukan mengadu keterampilan
tombak, pedang, dan panah, juga kepiawaian komandan dan pasukan tentaranya.
Dengan semangat jihad, tentara kaum Muslim berhasil mengalahkan tentara Salib.
Konrad lari terbirit-birit ke Konstantinopel. Begitu juga dengan usaha
penyerbuan dari Lodewiyk VII (Louis VII) yang bernasib sama; tentaranya kalah
total dan dia terpaksa melarikan diri, mula-mula ke Antiokia, kemudian bersembunyi
di Yerusalem. Kedua pimpinan tentara Salib ini akhirnya pulang. Kepemimpinan
tentara Salib akhirnya diserahkan kepada Almalric. Pada interval waktu ini,
mereka memperoleh bantuan dari orang-orang Daulah Fathimiyah di Mesir. Bersama
orang-orang Yahudi, mereka berusaha menggali pusara Rasulullah SAW. Untuk
mencuri jenazah beliau.
Setiap
usaha untuk menaklukkan daerah Damaskus selalu saja dapat dipatahkan oleh
keluarga Zanki, yaitu Nuruddin Saifuddin Zanki (anak dari Imaduddin Zanki) dan
panglimanya, Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub. Begitu juga ketika mereka ingin
menaklukkan Mesir.
4.
Penaklukan
Mesir
Usaha
penaklukan Mesir dilakukan oleh tentara Salib. Daerah ini dipandang sangat
strategis bagi gerak mereka selanjutnya. Pada saat yang sama, Nuruddin Zanki
juga mempunyai keinginan yang sama. Ketika itu, Mesir dikuasai oleh keluarga
Fathimiyyin. Mesir dalam keadaan yang lemah. Saat itu, kekuasaan disana justru
hanya dipegang oleh para menterinya. Menteri yang terkenal saat itu adalah
Syawir dengan panglima pasukannya Dirgham terdapat ketidakcocokkan dan saling
berlawanan dalam hal kewenangan komando.
Niat
tentara Salib tersebut didahului oleh Nuruddin Zanki atas nasihat Asaduddin
Syirkatu dan Shalahuddin al-Ayyubi (panglima perangnya), yaitu dengan mengirim
utusan ke Mesir. Lalu, dibuatlah perjanjian bahwa jika Nuruddin Zanki berhasil
menyelamatkan Mesir dari tentara Salib, sepertiga daerah Mesir akan diberikan
kepada Nuruddin. Isi perjanjian lainnya adalah bahwa jika Nuruddin berkuasa,
maka Syawir tetap diminta untuk menjadi menterinya.
Setelah
perjanjian tercapai, Nuruddin mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan
Asaduddin al-Ayyubi. Kedatangan tentara Islam ini tidak disambut baik oleh
Syawir. Kedatangan tentara Islam ini malah dilaporkan kepada tentara salib yang
berada di Baitul Maqdis. Terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dengan
tentara Salib di padang Pasir Mania dan Babain (dekat Fusthat). Disini, tentara
Islam mendapat kemenangan (tahun 1167 M). untuk membendung tentara Salib,
Syawir membakar kota Fusthat. Akan tetapi anehnya, di sini ia justru mengadakan
perjanjian rahasia dengan tentara Salib.
Tipu daya
dan pengkhianatan Syawir cukup merepotkan tentara Islam. Namun demikian,
tentara Islam terus maju menuju Kairo, sedangkan tentara Salib menuju Iskandariah.
Tentara Salib kemudian mengepung kota Kairo dari segala pejuru (darat dan
laut). Shalahuddin mempertahankan kota ini dengan gigih dan gagah berani sambil
menunggu bala bantuan dari Asaduddin Syirkatu. Akhirnya, karena tidak
mendapatkan apa-apa dari usaha pengepungan Mesir, tentara Islam menarik seluruh
pasukannya. Akan tetapi, liciknya, tentara Salib hanya menarik separuh saja
pasukannya dari Mesir. Setelah tentara Islam keluar, dengan mudah tentara Salib
menguasai daerah-daerah Mesir. Kemudahan itu karena disokong oleh pengkhianatan
Syawir. Tentara Salib dalam berbagai penaklukkannya melakukan pembumihangusan
kota dan harta benda, pemerkosaan terhadap wanita-wanita, dan pembunuhan
terhadap berbagai lapisan masyarakat yang tidak berdosa. Mereka kemudian
melanjutkan ekspansinya ke Kairo sambil melakukan pengrusakan, pembunuhan,
serta berbagai tindakan kejam lainya yang telah terkenal sebagai karakter dan
lambing kebiadaban mereka.
Pelanggaran
tentara Salib terhadap isi perjanjian menyebabkan kemarahan Nuruddin Saifuddin
Zanki. Ia kemudian mengirim kembali pasukannya di bawah pimpinan Asaduddin dan
Shalahuddin. Kedatangan tentara Islam ini disambut dengan gemuruh suka cita dan
kerinduan. Catatan sejarah menyebutkan bagaimana rakyat Mesir menyambutnya
dengan teriakan takbir dan tahlil.
Mesir
akhirnya dapat dikuasai kembali, sedangkan Syawir ditangkap dan dibunuh oleh
Asaduddin Syirkatu. Karena jasanya ini, Asaduddin diangkat menjadi perdana
menteri Mesir menggantikan Syawir sang pengkhianat itu. Akan tetapi, kejadian
sedih menimpa kaum muslim dengan meninggalnya panglima Asaduddin. Nuruddin
selanjutnya mengangkat Shalahuddin sebagai panglima pasukan Islam.
5.
Perang
Salib III (1189-1192 H)
Shalahuddin al-Ayyubi Menaklukkan Baitul
Maqdis
Kecakapan Shalhuddin telah diperlihatkan
sejak penaklukan Mesir dari cengkraman tentara Salib. Dalam perang Salib III
inilah, kecakapan dan kepribadian agung Shalahuddin lebih mencuat. Diangkatnya
Shalahuddin berhasil menjunjung kembali kejayaan Islam yang hamper saja punah
oleh haru-birunya tentara Salib.
Kekalahan demi kekalahan yang di derita
pasukan Salib menyebabkan mereka kembali mengirimkan pasukan Tentara Salib yang
ketiga. Kali ini, gelombang pasukan mereka di pimpin oleh Philip Augustus (Raja
Prancis), Frederick Barbarosa (Kaisar Jerman), dan Richard The Lion Heart
(Richard, Raja Inggeris, si Hati Singa yang terkenal kejam). Sementara itu,
keadaan kekuasaan Saljuk di Syam mulai goyah sejak Nuruddin Saifuddin Zanki
wafat. Ia hanya meninggalkan seorang anak yang masih kecil sedangkan setiap
anggota keluarganya berambisi mengambil kekuasaan. Celakanya, mereka tidak
segan-segan berbaku hantam, bahkan berperang sekalipun.
Keadaan genting itu menyebabkan
Shalahuddin segera bertindak menaklukan kembali daerah-daerah yang dikuasai
oleh keluarga Zanki dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Saljuk.
Shalahuddin berhasil menaklukan Damaskus, Homs, dan Hama. Semua itu
dilakukannya karena ia ingin kembali mempersatukan seluruh negeri-negeri Islam.
Usaha yang mulia ini berhasil direalisasikannya. Bahkan, kekuasaan yang
berhasil dikembalikan ke pangkuan kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Irak,
Kurdistan, Syam, Mesir, dan Libya.
Dalam usaha mempersatukan daerah-daerah
Muslim itu, Shalahuddin mengadakan perjanjian dengan pimpinan Tentara Salib,
yaitu Kaisar Renaulde de Chattilon, yaitu agar tidak saling menyerang, serta
saling menjaga dan melindungi kafilah Islam yang berkunjung ke Baitul Maqdis.
Pimpinan tentara Salib yang sekaligus Raja Baitul Maqdis ini terkenal karena memiliki
benteng yang kuat, yaitu al-Kark.
Akan ttapi, dalam kenyataannya, Renaulde
akhirnya berkhianat yaitu dengan merampok rombongan yang hendak beribadah haji
ke Makkah. Di dalam rombongan itu, turut serta saudara perempuan Shalhuddin.
Pengkhianatan ini menyebabkan Shalahuddin berang. Ia berjanji akan membunuh
Renaulde. Ia bersama pasukannya lalu memasuki Yerussalem dan mengepung kota
ini. Puncak pertempuran dalam perang Salib III adalah pertempuran yang terjadi
di Hittin (tahun 1187 M). Benteng al-Kark, yang kondang kekokohannya itu,
berhasil direbut tentara Islam. Lebih dari 10.000 tentara Salib binasa, banyak
perwira tentaranya yang berhasil ditawan, bahkan Renaulde sendiri berhasil
ditangkap.
Setelah Baitul Maqdis jatuh, kota-kota
seperti Akka, Nablus, Jenin, Samirah, Thabariyah, Palestina, Ramallah, Sidon
(sekarang disebut Libanon Selatan), Kesaniyah, Jafa, Askalan, Beirut dan Ghaza,
menyusul dapat dikuasai.
Akhirnya, Shalahuddin berhasil memasuki
Baitul Maqdis dan membebaskannya dari tentara Salib. Shalahuddin memasuki kota
suci ini pada hari Jum’at, tanggal 27 Rajab 583 Hijriah, dengan mengumandangkan
takbir. Ia bersama tentara Islam masuk ke dalam Masjid al-Aqsha dan Masjid
ash-Shakarah lalu membersihkannya dengan air bunga. Untuk pertama kalinya azan
kembali bergema dari ke dua menara masjid tersebut.
Keberhasilan Shalahuddin menyatukan
kembali negeri-negeri Islam dalam kesatuan Daulah Islam sesungguhnya suatu
prestasi yang tinggi. Kita melihat langkah pertama yang dilakukannya adalah
mengambil alih kekuasaan dari keluarga Fathimiyah yang Syiah itu yang ada di
Mesir. Sebelumnya, ia telah berhasil menyatukan Syam, Makkah, Madinah, Yaman,
serta memusnahkan kekuasaan Adarisah di Marokko yang berada di bawah kekuasaan
Bani Buwaih di Baghdad. Akhirnya, sejarah mencatat bahwa ia telah berhasil
menyatukan kembali negeri-negeri Islam
mulai dari wilayah Syam hingga ke Sudan kea rah Selatan (Afrika), Libya di arah
Barat, sampai ke Armenia di Eropa Timur (kini di bawah kekuasaan Rusia
Komunis). Bahkan, ia juga berhasil menyatukan daerah Irak bagian Timur.
Banyak penulis yang mengisahkan kepiawaian
dan kecerdikan Shalahuddin serta kegagahberaniannya. Namun, justru yang paling
menonjol adalah keluhuran akhlaknya.
Ketika ia berhasil menaklukan Baitul Maqdis,
ia memberikan kesempatan kepada keluarga-keluarga Kristen yang ingin keluar
dari Baitul Maqdis untuk bersiap-siap dalam waktu 40 hari. Siapa saja yang
tidak mempunyai biaya untuk keberangkatannya itu, Shalahuddin member mereka
bekal. Raja Baitul Maqdis dibebaskan dengan syarat ia berjanji untuk tidak
menyerang lagi.
Shalhuddin melarang keras tentara Islam
mengganggu umat Nasrani yang ada di kota ini. Dalam waktu yang bersamaan, semua
tawanan diperlakukan secara terhormat. Bahkan, dalam waktu yang relative
singkat, seluruhnya mereka dibebaskan dengan hanya membayar 10 dina. Kemuliaan
Shalhuddin yang terpuji ini menyebabkan tentara Salib dengan senang hati
mengosongkan seluruh benteng mereka, kemudian dengan perasaan damai dan di
bawah perlindungan tentara Islam, mereka meninggalkan kota Suci itu.
Dalam episode yang lain, ketika secara
perorangan Shalahuddin al-Ayyubi berhadapan dengan Richard si Hati Singa,
sebelum mengadu kepiawaian, mereka terlebih dahulu berikrar yaitu, bila salah
pihak ada yang kalah, maka akan diadakan perjanjian. Ternyata, Shalahuddin
(dengan sengaja) kalah. Kemudian dibuatlah perjanjian yang isinya :
Baitul Maqdis tetap di bawah kekuasaan
Islam, dengan syarat kaum Kristen tidak dihalangi untuk berziarah ke sana; kaum
Salib akan melindungi pantai Syam sepanjang Tyrus sampai ke Jafa; dan
panji-panji perlambang agama Kristen yang pernah di rampas Umat Islam,
dikembalikan lagi kepada umat Kristen.
Episode perang Salib terus berlangsung.
Sejarah telah mencatat bahwa perang ini sangat panjang dan melelahkan kedua pihak.
Perang tersebut berlangsung lebih kurang 200 tahun, dimulai dari Perang Salib I
sampai VII. Sejak Perang Salib IV sampai VII, tentara Salib sama sekali tidak
mendapatkan apapun. Mereka lebih banyak menelan kekalahan daripada meraih
kemenangan. Selain itu, kerugian personal dan material dari kedua pihak sangat
banyak. Itulah peperangan terpanjang yang pernah ditayangkan diatas panggung
sejarah kemanusiaan. Di arena perang itu diperlihatkan segala kepiawaian dan
kecerdikan, kelicikan dan keculasan, pengkhianatan, kebiadaban, dan sebagainya.
Akan tetapi, hanya yang berkualitas dan benarlah yang layak meraih kemenangan
di atas landasan strategi, teknik dan taktik yang tepat dan benar pula, tanpa
menghalalkan segala cara.
Baitul
Maqdis Sekarang
Sejak Shalahuddin al-Ayyubi
berhasil membebaskan kota Suci Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Salib
(Kristen), umat Islam tetap mempertahankan daerah itu selama lebih dari delapan
abad (583-1377 H). Baru tahun 1967 M, tanah suci itu jatuh ke tangan musuh
Islam terbesar, yang pertama dan utama, yaitu orang-orang Yahudi (negeri Israel
alias Zionis).
Bagaimana kisahnya sampai Israel
berhasil menguasai tanah Suci tersebut tanpa harus berperang, tanpa mendapatkan
perlawanan dari Kaum Muslim di wilayah itu tanpa ada reaksi dari para pemimpin
di sana? Melalui tulisan ini, kami ingin memaparkan sekaligus mengingatkan dua
tragedy terbesar pada abad ke-20 ini, yaitu keruntuhan atau kehancuran Khilafah
Islam dan pencaplokan tanah Suci Baitul Maqdis yang dilakukan oleh Israel.
a. Situasi Kekuasaan dan Perpolitikan Israel
Inggris, yang saat itu sangat menguasai konstelasi politik di
dunia, secara dominan, banyak mempengaruhi perpolitikan Israel. Untuk
megukuhkan pengaruhnya, Inggris mengangkat Moshe Dayan (si Picak) sebagai
Menteri Pertahanan dan Hayem Barly sebagai Panglima Perang. Secara resmi, kedua
orang ini bertugas pada tanggal 1 Juni 1967. Selain itu, Inggris juga
mengirimkan bantuannya berupa sejumlah besar pesawat tempur beserta pilot tempur
dan penasihat militernya yang mengatur strategi perang melawan kaum Muslim.
Inilah keterlibatan Inggris dalam usaha mencengkeramkan kuku-kuku beracun
Zionisme Israel di Tanah Palestina dan sekitarnya.
Keterlibatan Inggris ini diungkapkan oleh Gamal Abdel Nasser
(waktu itu sebagai Presiden Mesir), yaitu sejauh mana Inggris terlibat melalui
bantuan peralatan militer dan ahli strategi perang menyerang kubu-kubu
pertahanan kaum Muslim.
b. Kelicikan dan Pengkhianatan
Adalah Husein ibn Thalal ibn Abdullah al-Hasyimi, Raja Yordania,
yang telah diketahui oleh semua orang bahwa keluarga Hasyimi, sejak Raja
Abdullah sampai Raja Hussein adalah kaki tangan Inggris. Inggrislah yang telah
menyerahkan Yordania kepada Raja Abdullah. Karena keluarga Hasyimi ini loyal
kepada Inggris dan tidak pernah berpaling kepada Negara lain. Maka antara
tanggal 22-26 Mei 1967, Inggris menghubungi Hussein untuk mengadakan pertemuan
dengan Duta besar Mesir di Amman (Mesir) dan Gubernur Yerusalem, Anwar
al-Khatib. Dalam pertemuan itu, Hussein meminta kesediaan duta besar Mesir
untuk menyampaikan keinginannya kepada Gamal Abdel Nasser agar dimungkinkan
mengadakan perjanjian kerja sama bilateral di bidang militer antara Yordania
dengan Mesir. Bahkan, secara sepihak, tawaran itu diembel-embeli lagi, yaitu
apabila di antara anggota cabinet Hussein ada yang tidak disenangi Nasser, maka
Hussein bersedia memecatnya. Akan tetapi tawarannya itu ditolak Nasser.
Penampikan ini tidak membuat Hussein patah semangat. Pada tanggal
30 Mei 1967, ia mengadakan kujungan resmi kenegaraan ke Mesir. Kunjungan ini
akhirnya memaksa Nasser menandatangani perjanjian rencana kerjasama bilateral,
terutama dibidang pertahanan dan militer.
Sesungguhnya, ada maksud apa gerangan dibalik semua itu, sehingga
Inggris berusaha demikian keras agar Hussein meibatkan diri dalam perang
melawan Israel dengan terlebih dulu melakukan penandatanganan perjanjian
kerjasama seperti itu dengan pihak Mesir?
Kita memahami bahwa pada waktu itu cengkeraman kuku beracun
Zionisme Israel belum menancap kokoh di bumi Palestina dan sekitarnya, sehingga
Israel memerlukan daerah yang defenitif dan kokoh untuk menunjang keberadaannya
di wilayah Timur Tengah. Dengan keterlibatan Hussein bersama Mesir, maka ia
mempunyai alasan untuk merealisasikan keinginan Israel tersebut, yaitu dengan
menyerahkan Tepi Barat Sungai Yordan kepada Israel dalam suatu momen
peperangan. Tidak itu saja, bahkan Inggris bersama Hussein ingin menjatuhkan
Nasser agar negeri tersebut dapat menguasai Mesir kembali. Sebab, Nasserlah yang
telah mengusir Inggris dari Mesir, yaitu dengan menghalau 85.000 personil
tentara beserta amunisinya keluar dari Mesir tahun 1956. Inilah episode
pengkhianatan Hussein kepada kaum Muslim.
Kebulatan tekadnya itu telah dicetuskannya pada tanggal 29 Mei dalam
rapat cabinet terbatas dengan para jenderal, komandan, dan ahli strategi
perang. Pada forum itu, ia bersumpah sampai tiga kali, “Aku akan menjatuhkan
Nasser yang agen Amerika itu dalam peperangan ini (yakni perang yang dikenal
dengan perang Enam Hari pada bulan Juni 1967). Setelah penandatanganan
perjanjian kerjasama tersebut (tanggal 30 Mei 1967) dan bersamaan dengan
pengangkatan Moshe Dayan sebagai Perdana Menteri Pertahanan (tanggal 1 Juni
1967), Perdana Menteri Inggris, Harold Wilson, mengadakan kunjungan kenegaraan
ke Kanada dan Amerika Serikat pada tanggal 2 Juni 1967. Kunjungan ini adalah
lawatan negosiasi agar Amerika tidak usah ikut campur apabila Israel menyerang
Mesir. Tanggal 4 Juni 1967, ia kembali ke Inggris setelah memperoleh jaminan
bahwa Amerika tidak akan ikut campur dalam konflik apapun yang terjadi di Timur
Tengah. Saat itu, Nasser adalah agen Amerika.
Tanggal 5 Juni 1967, Israel mulai mengadakan penyerangan pertama
ke wilayah Sinai (Mesir) dan Tepi Barat Sungai Yordan (Yordania). Perang ini
terkenal dengan Perang Enam Hari.
Pada waktu itu, Nasser terkejut dengan perubahan politik yang mendadak di
seputarnya. Ia kaget oleh serangan yang dilakukan Israel; sesuatu yang tidak
disangka-sangka akhirnya terjadi. Setelah kekalahan Perang Enam Hari yang
memalukan, yaitu dicaploknya Gurun Sinai oleh Israel, Nasser berpura-pura
mengundurkan diri. Ia lalu mengangkat seorang pembantunya yang terkenal
kedunguannya. Taktiknya ini menyebabkan rakyat yang tidak mengerti kelicikan
Nasser, meminta Nasser kembali menjabat sebagai Presiden.
Dalam pada itu, pengkhianatan terbesar lainya adalah tindakan
Hussein yang dengan sukarela dan tanpa melakukan sedikitpun perlawanan
menyerahkan Tepi Barat (yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis dan Masjid
al-Aqsha) kepada Israel. Inilah tipuan perang yang dilakukan Hussein. Ia
bekerjasama dengan seluruh jajaran media massa menceritakan berbagai momen
pertempuran yang semuanya adalah fiktif dan bualan belaka. Kita mungkin belum
lupa bagaimana siaran radio menyebutkan bahwa telah sekian puluh pesawat Israel
jatuh tertembak oleh pasukan Yordania. Padahal, tidak satupun pesawat tempur
Israel yang jatuh tertembak oleh pasukan Yordania. Padahal tidak satupun
pesawat tempur Israel yang jatuh, karena memang saat itu tidak ada peperangan
apapun. Kita juga masih ingat, bagaimana 300 buah tank diberangkatkan ke Tepi
Barat. Akan tetapi disini, mereka hanya berdiam diri sambil menunggu perintah.
Panglima perangnya ketika itu dipegang langsung oleh Hussein. Namun, perintah
untuk berperang melawan Israel tidak pernah muncul karena hal ini memang
disengaja oleh Hussein.
Akhirnya, kita mendengar, bagaimana seluruh tank beserta
orang-orang yang berada di dalamnya dibinasakan Israel. Bahkan, betapa
biadabnya Hussein ketika ia secara sengaja mengorbankan tentara cadangan yang
berada di Ghaur (dekat Tepi Timur Sungai Yordan). Pasukan cadangan ini sebagian
di tarik mundur, sebagian lagi disuruh menunggu perintah (yang tidak pernah
muncul), serta sebagian lainnya sengaja diumpankan kepada Israel untuk
dibantai.
Kita juga tidak pernah melupakan, bagaimana Hussein secara licik
menarik pasukan yang berada di Jenin dan Yerusalem ke Tepi Timur yang sama
sekali tidak ada pasukan Israel sebagai lawan mereka. Dengan demikian, Israel
denga mudah menguasai Yerusalem hanya dalam waktu 48 jam. Kebiadaban serupa
dilakukan Hussein terhadap pasukan yang berada di Kafer ‘Ashyun. Tidak hanya
itu, Hussein juga memerintahkan kepada semua pasukan yang ditarik mundur itu
untuk melucuti dan meninggalkan semua senjata mereka. Bahkan, untuk melemahkan
semangat pasukan ini, Hussein sengaja menyebarkan isu bahwa Tepi Barat telah
dikuasai oleh Israel. Oleh karena itu, katanya, kita tidak ada gunanya lagi
berperang.
Di kota al-Khalil, berkali-kali penduduk di sana meminta
dipersenjatai supaya mereka dapat membantu mempertahankan wilayah Tepi Barat
dan sekitarnya. Karena tidak mendapat tanggapan yang serius, akhirnya pada
tanggal 7 Juni 1967 para penduduk mendatangi kediaman Gubernur wilayah ini.
Akan tetapi, mereka mendapat jawaban bahwa pasukan pemerintah cukup tangguh dan
kuat untuk mengatasi semua persoalannya. Karena, terus menerus didesak ,
akhirnya Gubernur wilayah al-Khalil membuka rahasia bahwa sesungguhnya kota
mereka telah diserahkan kepada Israel melalui perjanjian yang sangat rahasia
pada tanggal 6 Juni 1967. Akhirnya, tanggal 7 Juni 1967, Israel dengan mudah
memasuki al-Khalil dan menguasainya tanpa berperang. Untuk memudahkan Israel
mencengkeramkan ketajaman kuku-kukunya, Hussein terjun langsung ke lapangan
memberikan komando di wilayah Tepi Timur. Orang-orang, sekalipun mengetahui
pengkhianatan Hussein, tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan kudeta,
karena kepemimpinan tertinggi angkatan bersenjatanya berada di tangan Hussein.
Itulah kisah pengkhianatan Raja Hussein dari Yordania dalam andi
besarnya menyerahkan Tepi Barat Sungai Yordan ke tangan Israel, tanpa ada
letusan mesiu sedesing pun ataupun tidak ada perang; yang ada hanyalah
kelicikan, penipuan, dan pengkhianatan. Dengan demikian, Hussein telah
menyerahkan Masjid al-Aqsa ke tangan Israel agar Zionis Yahudi itu mudah
menancapkan tiang pancang dan kibaran benderanya di atas kubah Masjid al-Aqsa
yang dahulu direbut dengan tetesan keringat, banjir darah, dan air mata
kesedihan tentara Islam pimpinan Abu ‘Ubaydah ibn al-Jarrah pada masa
Kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khaththab, yang kemudian kota suci ini kembali
dikuasai oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada masa Kekhalifahan an-Nasser
Lidinillah.
Berbagai
Pertanyaan Bernada Sedih
Sampai
sekarang, umat Islam belum berhasil membebaskan Tanah Suci Baitul Maqdis dari
cengkeraman Israel. Umat ini telah dibodoh-bodohi dan ditipu oleh para
pemimpinya sehingga hamper tidak ada kesempatan secara serentak untuk melakukan
serangan dalam upaya merebut kembali kota tersebut. Kita telah melihat bahwa
hamper seluruh pemimpin kaum Muslim lebiih suka berdamai dengan Israel seraya
mengakui eksistensinya daripada memeranginya guna merampas dan mengembalikan
Masjid al-Aqsa berikut wilayah-wilayah yang diduduki Israel ke pangkuan umat
Islam.
Akibat
sikap yang demikian, Israel dengan berani dan leluasa membakar Masjid al-Aqsha
pada tahun 1969. Bukan itu saja, mereka pun membiarkan orang-orang Yahudi
berpesta pora dan membuang hajat serta bermain asmara di dalamnya. Kita acap
mendengar, betapa seringnya tentara Israel menyerang kaum Muslim secara biadab,
dengan berondongan senjata mesin otomatis membabi-buta, ketika kaum Muslim
sedang khusyuk melakukan shalat Jum’at. Kita juga sudah terlalu sering
mendengar, bagaimana mereka mempermainkan dan menghina kesucian masjid ini
dengan cara menutupnya untuk kemudian di buka kembali.
Kesucian
dan kemuliaan Masjid al-Aqsha telah dinodai oleh kelompok manusia yang paling
terhina di bumi ini, yaitu orang-orang Yahudi terkutuk. Sebaliknya, orang-orang
yang dimuliakan Allah swt, yaitu kaum Muslim, kini telah dihina dan terhina.
Umat ini lebih banyak bertopang dagu atau berpangku tangan melihat semua
tindakan Israel yang licik, biadab, kejam, dan tindakan buas lainnya.
Kita
patut bertanya, apakah ghirah Islam
telah hilang sama sekali dari hati umat Islam di dunia ini? Apakah kita hanya
cukup memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj dan berlomba-lomba dengan segala
kemegahannya, sementara pada saat yang sama, Masjid al-Aqsha tempat Rasulullah
saw di Isra’ Mi’rajkan tetap dikuasai oleh orang-orang Yahudi; suatu kaum yang
amat sangat membenci Islam dan umatnya? Kitapun boleh bertanya, sampai kapankah
umat Islam tetap bersikap demikian?
Kita
meyakini bahwa banyak di antara kaum muslim sekarang rindu untuk mengorbankan
diri serta menumpahkan darahnya (dengan mati syahid) demi bebasnya Tanah Suci
Baitul Maqdis dan seluruh Tanah Palestina secara keseluruhan. Sudah banyak kita
mendengar dan melihat betapa secara pribadi orang-orang mulai melakukannya.
Misalnya, dengan hanya berbekal balon terbang, mereka memasuki wilayah
teersebut serta membunuh tentara dan orang-orang Yahudi; atau dengan bekal
senjata api, mereka menyeberangi perbatasan masuk wilayah Israel; atau dengan
mengendarai kendaraan yang diisi dengan bom, mereka menabrakkan kendaraannya
itu kepada barak atau kumpulan tentara atau orang-orang Yahudi – walaupun semua
itu harus mereka tebus dengan kematian (syahid).
Sebuah
Harapan Membentang
Kita
sebagai Muslim menolak adanya Negara Palestina. Palestina adalah tanah yang
terkait erat dengan akidah Islam. Allah swt telah menjadikan Masjid al-Aqsha
(Baitul Maqdis) sebagai kiblat pertama bagi kaum Muslim sebelum daerah itu
ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslim. Rasulullah saw telah diisrakan disini,
juga dihidupkan seluruh Nabi dan Rasul untuk melakukan shalat berjamaah yang
diimami oleh Rasulullah Muhammad saw. Disunnahkan bagi kaum Muslim untuk
menunaikan shalat di Masjid al-Aqsha dengan ganjaran pahala 500 kali
dibandingkan dengan menunaikan shalat di masjid lain (di masjid Haram ganjaran
pahalanya 1.000 kali). Pada masa Rasulullah saw disunnahkan bagi yang belum
mampu berziarah ke Masjid al-Aqsha mengirimkan minyak untuk dipakai sebagai
lampu di dalam masjid tersebut.
Imam
al-Wasithi telah meriwayatkan hadis dari Makhul ra bahwa Maymunah ra pernah
bertanya kepada Rasulullah saw tentang Baitul Maqdis. Ketika itu, Rasulullah
saw menjawab :
“Sebaik-baik
tempat tinggal (bagi seorang muslim) adalah Baitul Maqdis. Siapa saja yang
melakukan shalat di dalamnya, maka ia seperti telah melakukan 1000 kali shalat
di masjid lain. Siapa saja yang tidak mampu (mendatanginya), maka (cukuplah) ia
mengirimkan minyak (yang biasa dipakai untuk menyalakan lampu ketika itu) ke
mesjid tersebut.” (Lihat: Imam
as-as-Suyuthi, ibidem). []
0 komentar:
Posting Komentar