Takutnya Amirul Mukminin Menggunakan Harta Rakyat
Khalifah Al-Mahdi abu
Ja’far al-Manshur memerintah antara 159-169 H (775-785 M). beliau memiliki
kebiasaan selalu bertemu dan bermusyawarah bersama-sama dengan para ulama,
membahas berbagai perkara yang dihadapi oleh kaum muslimin dan Daulah
Islamiyah, maupun menjadi arena saling nasihat menasehati. Masa pemerintahan
beliau sezaman dengan hidupnya seorang ulama besar, yaitu Imam Sufyan
ats-Tsauri.
Pada suatu saat, Khalifah al-Mahdi usai menunaikan ibadah Haji,
kembali ke ibu kota Baghdad. Beliau memerintahkan bawahannya untuk menghadirkan
Imam Sufyan ats-Tsauri di hadapannya. Setelah Imam Sufyan dating dan berdiri di
hadapannya, al-Mahdi segera berkata:
“Mengapa sejak aku kembali dari menunaikan ibadah Haji,
engkau tidak pernah dating ke hadapanku? Padahal, banyak masalah yang ingin aku
sampaikan, sekaligus ingin aku pintakan pendapatmu. Selama ini, apa yang engkau
serukan, selalu kami jalankan. Dan apa yang engkau larang, selalu kami jauhi.”
Setelah al-Mahdi mengutarakan maksudnya, Imam Sufyan pun
menjawabnya:
“Berapa banyak uang Negara yang engkau habiskan dalam
menunaikan ibadah haji itu?”
Al-Mahdi menjawab:
“Aku tidak tahu, akan tetapi engkau bisa melihat rinciannya
kepada bendaharaku.”
Imam Sufyan lalu bertanya:
“Apa jawabanmu di hari kiamat nanti, apabila engkau ditanya
oleh Allah tentang perkara itu? Ingatlah tatkala Khalifah Umar bin Khaththab ra
pulang dari menunaikan ibadah Haji, lalu beliau bertanya kepada pembantunya.
‘Berapa banyak uang yang telah kita gunakan untuk menunaikan ibadah Haji ini?’.
Pembantunya menjawab, ‘Delapan belas dinar, ya Amirul Mukminin’. Umar
terperanjat dan berkata, ‘Celaka, kita sudah memperkosa harta Baitul Mal.”
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw bersabda:
‘Siapa yang menggunakan
harta Allah dan Rasul-Nya, sekehendak hawa nafsunya, maka baginya api Neraka
pada hari kemudian.’ (HR. Manshur
bin Ammar, dari Ibrahim, dari Aswad, dari al-Qamah, dari Ibnu Mas’ud)
Salah seorang sekretaris al-Mahdi, yaitu Abu ‘Ubaid menegur
Imam Sufyan ats-Tsauri:
“Tidak pantas engkau mengatakan hal ini di hadapan al-Mahdi,
Amirul Mukminin.”
Seketika, Imam Sufyan berbalik menghardik Abu ‘Ubaid:
“Diam! Sesungguhnya Fir’aun binasa karena Haman, dan Haman
itu sendiri adalah Fir’aun.”
Itulah fragmen, dialog antara seorang ulama besar, dengan
seorang Khalifah, yang memiliki kekuasaan terluas di dunia, pada zamannya.
Mereka berdialog berdasarkan argumentasi (hujjah) yang merujuk kepada aqidah
dan system hukum Islam. Para ulamanya berani menyampaikan yang haq itu memang
haq, dan yang bathil itu adalah bathil, walaupun hal itu disampaikan di hadapan
penguasa, bahkan Amirul Mukminin.
Masih adakah gerangan para ulama seperti itu? Kemanakah
gerangan penguasa-penguasa yang adil? []
*Teladan, al-Wa’ie No.
04 Tahun I, 1-31 Desember 2000
0 komentar:
Posting Komentar